Total Tayangan Halaman

12 Februari 2014

Part 1 (Karena belom ada judul, jadi tolong masukannya *sekalian nyari sih*)

             “Ayo pacaran denganku,” kata pria itu sambil tersenyum menatap perempuan yang tepat berada di depannya, yakin.
           “Kau sudah tidak waras ya? Kau tahu aku sudah memiliki kekasih, dan kau masih memintaku untuk menjadi kekasihmu? Kau pikir aku ini perempuan murahan?!”
          Dengan nada kesal perempuan bertubuh mungil itu, meletakkan sumpit di genggamannya hingga terdengar seperti menggebrak meja. Eun Ji tidak pernah menyangka jika pria yang ada di depannya ini akan mengatakan kata-kata yang membuatnya sakit kepala seperti ini. Eun Ji  yang masih menatapnya marah, melanjutkan kata-katanya tadi dengan lebih tenang.
          “Kang Jiwoon, kau sudah tahu kan aku sudah memiliki kekasih. Kenapa kau masih saja meminta permintaan yang tentu saja akan kutolak dengan tegas. Kumohon Jiwoon-ah, jangan menyulitkanku seperti ini,” Eun Ji menghela nafas panjang, karena saat ini dia tahu kepalanya sedang berpikir keras, mengapa sahabatnya yang sudah dikenalnya selama 4 tahun ini mengatakan itu padanya.
          “Ji-ya, aku tidak pernah menyulitkanmu. Aku hanya memintamu untuk pacaran denganku, memangnya aku salah? Aku hanya mengatakan apa yang aku rasakan, kau hanya tinggal menjawab Ya atau Tidak. Aku sudah memikirkannya, pasti kau akan menolakku mentah-mentah. Tapi Eun Ji-ya, aku mencintaimu, lebih dari kekasihmu mencintaimu,” kata pria itu dengan mata menatap lurus kearah Eun Ji dengan sungguh-sungguh.
Sekali lagi, kata-kata pria beralis tebal itu, membuat Eun Ji gerah. Apalagi ditambah dia berkata mencintai Eun Ji. Eun Ji semakin marah, dan bangkit dari tempat duduknya. Dia tidak mau ada yang terluka karena ini. Rasanya Eun Ji ingin memaki, Jiwoon dengan kata-kata yang ada di kepalanya saat ini. Tapi kata yang keluar adalah kata-kata pamitan.
“Aku pergi!” Dengan segala kekuatannya yang tersisa, Eun Ji melangkah cepat meninggalkan sahabatnya itu di dalam kedai pinggir jalan itu.
Jiwoon bukan orang yang mudah menyerah. Dengan sikap Eun Ji yang marah itu, Jiwoon makin ingin memiliki perempuan yang membuat hatinya tidak menentu setiap malam. Jiwoon masih tersenyum menatap kepergian Eun Ji.
‘Aku tahu kau akan berpaling padaku, Eun Ji-ya. Karena aku tahu kau juga memiliki perasaan yang sama denganku, tapi kau mengingkarinya. Aku akan membuatmu menyadarinya. Aku tidak peduli dengan kekasihmu itu, aku hanya ingin membahagiakanmu lebih dari kekasihmu berikan padamu’
TTT
          Eun Ji masih tidak percaya dengan apa yang terjadi hari ini. Dia merasa tubuhnya sangat lelah dan kepalanya sakit memikirkan pernyataan dari Jiwoon.
          ‘Argh! Rasanya aku ingin terjun dari gedung tinggi atau yang lebih simple saja, aku ingin memukul kepalaku dengan sesuatu yang keras hingga aku amnesia dan melupakan kata-kata Jiwoon tadi. Kenapa harus seperti ini?Bagaimana kalau Seungjin tahu masalah ini, pasti dia akan mencari Jiwoon dan memukulnya hingga babak belur atau hingga mati. Tidak! Aku tidak akan memberi tahu Seungjin tentang hari ini. Semua akan baik-baik saja, Park Eun Ji, tenangkan dirimu’
          Sesering apapun Eun Ji mengatakan hal itu, dia tetap saja memikirkannya. Bagaimana tidak, Jiwoon adalah sahabatnya selama 4 tahun ini, selama ini menyimpan perasaan yang diluar dugaan, Jiwoon mencintainya. Eun Ji pikir, pasti Jiwoon salah makan obat, atau memang dia sudah tidak waras. Dia benar-benar membuat Eun Ji tidak bisa berenti memikirkannya. Beberapa saat kemudian, Eun Ji mencoba menutup matanya. Seungjin yang sedang dinas keluar negeri itu belum menghubunginya hingga saat ini. Tiba-tiba handphone Eun Ji berdering.
[Yeoboseyo?]
          “Ya?”
       [Bagaimana kabarmu Chagi? Apakah kau baik-baik saja disana? Ini aku Seungjin]
          Mendengar siapa yang menelponnya, Eun Ji langsung bangun dari tempat tidur dan berpindah posisi duduk di pinggir tempat tidurnya, sambil tersenyum. 
        “Ah Oppa! Kau kemana saja, aku mengkhawatirkanmu, sudah 3 hari kau tidak menelponku, aku baik-baik saja disini. Bagaimana dengan Oppa? Apa kau baik-baik saja disana? Kau makan dengan baik kan? Apakah pekerjaanmu lancar? Kapan kau pulang? Aku merindukanmu” 
     [Hei, hei kenapa pertanyaanmu banyak sekali? Hahaha baiklah aku akan menjawabnya satu per satu. Aku baik-baik saja Eun Ji-ya, aku makan dengan baik 3 kali sehari, dan pekerjaanku sangat lancar, aku sudah pulang dan ada di depan rumahmu sekarang]
“Apa? kau ada di depan rumahku? Yang benar saja.”
        Eun ji yang penasaran itu, langsung keluar dari kamarnya, langsung berlari menuju pintu gerbang dan membukanya cepat-cepat. Benar saja, Seungjin yang sangat disayanginya itu berada di depannya dengan membawa seikat bunga mawar putih kesukaan Eun Ji. Eun Ji nyaris saja akan menangis. Sambil masih memegang handphone di telinganya, Eun Ji tidak bisa berkata apa-apa.
          [Aku pulang, Eun Ji-ya. Aku merindukanmu..]
          Seungjin memberikan seikat bunga mawar itu dan memeluk Eun Ji yang masih terbengong-bengong mendapat pelukan dari Seungjin. Tubuhnya yang mungil, masuk kedalam pelukan Seungjin yang bertubuh tinggi darinya.
          “Eun Ji-ya, kenapa kau diam saja? Sepertinya Eun Ji-ku yang bawel ini menjadi pendiam ya sekarang, Hahaha,” sambil masih memeluk Eun Ji, Seungjin merasakan pukulan-pukulan kecil di punggungnya yang sebenarnya tidak terasa sakit.
    “Dasar Oppa bodoh! Kenapa baru menghubungiku sekarang sih? Dan mengagetkanku seperti ini. Aku kan belum menyiapkan apa-apa untuk kepulanganmu, ah aku jadi kesal,” Eun Ji yang cemberut itu melepaskan pelukannya dari Seungjin yang tersenyum jahil menatap Eun Ji.
      “Aku memang sengaja, karena ingin memberimu kejutan yang tidak kau perkirakan. Sepertinya kejutanku itu membuatmu ingin melayang, benar kan? Hahaha aku memang jago membuat hatimu tidak karuan ya?” Seungjin terkekeh melihat Eun Ji yang di rindukannya itu menjadi cemberut karena percaya dirinya yang berlebihan itu.
          “Oppa, kau mau masuk atau disini saja? Sepertinya kau mau disini saja,” Eun Ji langsung masuk kedalam rumah dan meninggalkan Seungjin yang ada dibelakangnya.
         “Tega sekali kau, meninggalkan Oppa sendirian diluar. Nanti kalau ada yang menculikku bagaimana? Kau nanti tidak bisa bertemu denganku lagi, lho?” Seungjin menggoda Eun Ji dan menampakkan wajah Aegyo-nya saat Eun Ji berbalik menatapnya tajam.
        “Oppa, kau itu narsis sekali sih? Terserah sajalah. Kau membuatku ingin memuntahkan makan malamku tadi,” Eun Ji berpura-pura kesal dan memicingkan mata bulatnya.
          “Ih kekasihku kenapa menjadi sangat galak sekali sih,” Seungjin menggeleng-gelengkan kepalanya.
          “Oppa, kau mau masuk tidak, ini sudah malam. Jangan diluar rumah, nanti kau masuk angin,” Eun Ji masih menggengam seikat bunga mawar ditangannya.
          “Tidak usah, sudah malam Eun Ji-ya, lebih baik aku pulang. Besok pagi aku akan menjemputmu, sebaiknya aku terlihat cantik, karena keriputmu sudah mulai kelihatan,” canda Seungjin yang otomatis membuat Eun Ji berlari lagi kearahnya dan memukulnya dengan tangan kecilnya.
          “Oppa! Kau menyebalkan sekali. Awas kau ya, aku akan membuatmu terpesona besok,” kata perempuan manis itu sambil menunjuk kearah Seungjin.
          “Baik, aku lihat besok, apakah keriputmu sudah pergi jauh-jauh dari kekasihku yang manis ini?” pria bertubuh tinggi itu, mengecup kening Eun Ji mesra dan mencubit pipinya yang mulai membulat itu.
          “Selamat malam Eun Ji-ya, aku pergi ya. Selamat tidur, aku menyayangimu,” Seungjin masuk kedalam mobilnya dan melambai kearah Eun Ji yang masih tidak bisa menyembunyikan wajah merahnya karena kecupan ringan di keningnya tadi.
          “Aku juga menyayangimu, sangat menyayangimu, Seungjin Oppa,” belum sempat mengatakan itu semua, mobil Seungjin sudah menjauh.
          Eun Ji masuk kedalam kamarnya lagi, dan meletakkan bunga mawar itu di vas dan diletakkan diatas meja kerjanya. Tampak cantik dan membuat perasaan Eun Ji kembali baik dan bersemangat. Saat gadis itu tengah menatap bunga mawar pemberian kekasihnya, telponnya kembali berdering. 
       “Yeoboseyo? Ada apalagi Seungjin Oppa,” kata Eun Ji kepada lawan bicaranya tanpa melihat nama yang tertera di layar handphonenya. 
      [Yeoboseyo, sepertinya ada yang mendahuluiku untuk mengucapkan selamat malam kepada gadis cantik ini. Ah seharusnya aku mengantarmu pulang tadi] 
     “Jiwoon? Mau apa lagi sih? Aku sedang lelah, tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk malam ini saja?” raut wajah Eun Ji berubah sebal mendengar suara Jiwoon diseberang sana. 
        [Baiklah, baiklah, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat malam saja padamu, tidak usah galak begitu, Eun Ji-ya] 
      “Kau memang pantas untuk mendapatkan kekesalanku, sudahlah aku lelah mau tidur! Selamat malam!” tanpa menunggu jawaban Jiwoon, Eun Ji menutup telponnya.
‘Tidak bisakah dia, tidak menggangguku? Belum cukup dia apa, dia membuatku shock setengah mati. Rasanya aku ingin meninjunya saja.’
Telpon Eun Ji berdering lagi.
“Apalagi Jiwoon-ah!”
[Aku mencintaimu Park Eun Ji]
Sekali lagi Eun Ji menutup telponnya. Kesal rasanya ketika Jiwoon mengatakan kalau dia mencintai Eun Ji. Itu membuat Eun Ji merasa serba salah dan bingung menghadapi Jiwoon dan perasaan Seungjin yang tidak ia beritahu atas kejadian mala mini sebelum Seungjin datang. Kepala Eun Ji kembali berputar-putar. Sepertinya dia harus mengompres kepalanya agar tidak tambah sakit.
‘Jiwoon sialan! Aku bersumpah, aku tidak mencintainya. Ya aku tidak mencintainya! Dia tidak akan bisa membuatku berpaling dari Seungjin Oppa. Karena aku menyayangi Seungjin Oppa, bukan Jiwoon. Anak itu benar-benar sukses membuatku sakit kepala.’
Di sisa malam itu, Eun Ji terus memikirkannya dan tidak bisa tidur.
TTT
Hari ini, Eun Ji terlihat mempersiapkan segalanya untuk bertemu dengan Seungjin pagi ini. Karena kemarin Seungjin berjanji untuk menjemputnya. Sebenarnya Eun Ji cukup kesal karena Seungjin mengatakan banyak keriput diwajahnya. Gadis berumur 20 tahun itu tahu jika kekasihnya hanya bercanda, tetapi tetap saja bagi perempuan kata-kata seperti itu apalagi diucapkan oleh kekasihnya sendiri, sedikit menohoknya.
‘Tidak akan kubiarkan Seungjin Oppa mengatakan kata-kata itu lagi. Jelas-jelas wajahku tidak ada keriputnya, dia malah menggodaku. Menyebalkan. Lihat saja penampilanku hari ini tidak kalah dengan Artis Baek Suzy’
Saat yang sama, seorang pria sudah menunggu di depan pintu pagar rumah Eun Ji dengan wajah sumringah. Dengan santai pria itu menekan bel rumah Eun Ji, dengan tangan sebelahnya menggenggam sebuket bunga mawar merah. Eun Ji yang sedang menyisir rambutnya yang panjang, langsung bergegas membuka pintu rumahnya dan sedikit berlari sambil memoleskan lipgloss ke bibir mungilnya. Ketika Eun Ji membuka pintu pagarnya, pria itu menutup wajahnya dengan sebuket bunga mawar yang dia beli. ‘Ah Seungjin Oppa romantis sekali, padahal semalam dia baru memberiku bunga mawar putih’ batinnya.
“Oppa, apakah kau berniat untuk membuat kebun mawar di kamarku,” kata Eun Ji sambil tertawa kecil.
“Astaga, ternyata kau memanggilku ‘Oppa’, bahagianya aku pagi ini,” kata pria itu lagi. Betapa terkejutnya Eun Ji saat pria itu menurunkan bunga yang tadi menutupi wajahnya. Ternyata bukan Seungjin, melainkan pria yang semalam memenuhi pikiriannya dan membuatnya harus tidur jam 3 pagi. Jiwoon.
“Kau! Sedang apa kau pagi-pagi dirumahku? Siapa yang mengijinkanmu menjemputku kemari? Aku tidak ada janji denganmu, aku sudah janji dengan orang lain!” kata Eun Ji sambil berdecak pinggang. Eun Ji tidak habis pikir kenapa pria di depannya ini menjadi berubah sejak semalam.
“Jadi kau berdandan cantik begini karena ingin bertemu dengan seseorang, astaga betapa beruntungnya aku melihatmu terlebih dahulu sebelum orang yang ingin menjemputmu itu,” Jiwoon terkekeh. Namun kekehannya semakin membuat Eun Ji ingin melemparnya dengan tas yang dipegangnya itu.
“Sudahlah! Lebih baik kau lekas pergi sebelum kekasihku melihatmu. Aku tidak ingin ada salah paham terjadi antara aku dan kekasihku,” Eun Ji sudah sangat tahu karakteristik Jiwoon, jika dia sudah keras kepala tidak ada yang bisa menghalanginya. Menyebalkan.
“Baik, baik, Tuan Putri yang cantik, aku akan pergi. Aku sudah cukup melihatmu pagi ini, jadi ini bunga mawar untukmu,” Jiwoon memberikan sebuket mawar merah yang indah itu kehadapan Eun Ji dan langsung masuk pergi meninggalkan Eun Ji yang masih terbengong-bengong dengan kelakuan Jiwoon pagi ini.
“Ya! Ya! Ini bawa bunga mawar merah ini kembali, Jiwoon-ah! Astaga anak itu benar-benar membuatku sakit kepala!” Eun Ji yang memegang buket bunga mawar itu hampir saja membuangnya ketempat sampah. Tapi dia sangat menyukai mawar, jadi dia mengurungkan niatnya dan meletakkannya di meja taman di halaman rumahnya.
Tak lama kemudian, Seungjin datang. Eun Ji tidak ingin Seungjin tahu tentang kejadian tadi. Buru-buru dia merapikan rambut lurusnya dan memeriksa Make Up-nya kembali setelah marah-marah tadi. Eun Ji sudah siap di depan pintu gerbang rumahnya, dan menyapa Seungjin dengan senyum terbaiknya.
“Aigoo, kenapa Oppa lama sekali? Aku sudah menunggumu dari tadi,” kata Eun Ji sambil menyipitkan matanya dengan tatapan menyelidik.
“Aish! Tadi macet dijalan, Eun Ji-ya. Kau tidak tahu betapa kesalnya aku harus terlambat menjemput tuan Putri yang sudah menunggu ini. Kau cantik sekali pagi ini, Eun ji-ya,” kata Seungjin sambil meraih tangan kanan Eun Ji dan mengecupnya ringan. Sontak momen ini membuat jantung Eun Ji nyaris keluar karena debarannya tidak karuan. ‘Aigoo! Semoga Seungjin Oppa tidak mendengar detak jantungku ini,” batinnya.
“Hei, kenapa kau diam saja, sudah ayo naik. Kau tidak ingin terlambat ke kampus kan?” Seungjin membuka pintu mobilnya untuk Eun Ji yang tanpa sengaja melamun.
“O..oh ya Oppa,” Eun Ji tampak malu dan masuk kedalam mobil Seungjin.
Sikap Seungjin padanya memang tidak berubah sejak setahun yang lalu, saat mereka pertama kali bertemu di sebuah pameran lukisan. Saat itu Eun Ji sedang melakukan riset untuk tugas kampusnya sekaligus mencari inspirasi untuk idenya melukis. Seungjin juga sedang berada dalam pameran lukisan itu, dia adalah pemilik dari galeri pameran lukisan tersebut. Seungjin melihat Eun Ji yang sedang kebingungan karena mencari lukisan yang dosennya rekomendasikan untuk tugas kampusnya.
Eun Ji cukup kaget karena pria setampan Seungjin menyapanya. Awalnya Eun Ji tidak merasakan perasaan apapun pada Seungjin. Tetapi saat mengobrol dengan Seungjin, sangat menarik karena pengetahuan Seungjin sangat luas. Tidak sepintas tentang seni lukis, tapi hal-hal lain yang menarik dan tidak diketahui oleh Eun Ji. Bagi Eun Ji, Seungjin adalah ensiklopedia berjalan. Dan Eun Ji tidak menyangka jika Seungjin menaruh hati padanya. Tepat dua bulan kemudian, setelah pertemuan itu, Seungjin menyatakan perasaannya pada Eun Ji. Tentu saja Eun Ji mempunyai perasaan yang sama pada Seungjin. Akhirnya mereka berdua berpacaran hingga saat ini.
Eun Ji sangat beruntung menjadi kekasih Seungjin, selain tampan, dia juga sangat pintar dan sudah berpenghasilan yang menurut Eun Ji lumayan bagi seorang pria yang masih 25 tahun ini.
“Bagaimana kuliahmu, Eun Ji-ya?” tanya Seungjin membuka percakapan.
“Baik, Oppa. Aku sedang menyelesaikan lukisanku. Jika sudah selesai aku akan menunjukkannya kepadamu,” kata Eun Ji menatap pria disampingnya senang.
“Wah, aku tidak sabar ingin melihat lukisanmu. Siapa tahu bisa di pajang di galeriku, hehe,” kata Seungjin sambil terkekeh.
“Tidak usah, Oppa. Lukisanku belum sebagus lukisan-lukisan yang dipamerkan di galeri Oppa. Aku hanya amatir dan belum berpikir untuk memajangnya menjadi sebuah karya seni dan pantas dilihat oleh orang banyak,” Eun Ji tahu kemampuan melukisnya memang masih amatir. Sebenarnya dia ingin sekali memajangnya di galeri, tetapi dia masih pemula dan tahu diri jika dirinya belum pantas disebut sebagai seniman.
“Eun Ji-ya, kau jangan merendah seperti itu. Menurut mataku ini, karya lukismu selama ini sudah lebih baik dan akan terus lebih baik. Aku harap kau tidak putus asa, dan terus belajar agar lukisanmu menjadi lukisan yang diakui di Korea, bahkan di luar negeri,” kata Seungjin yang memberi semangat kepada Eun Ji sambil mengusap kepalanya. Dia tahu kekasihnya itu memang mudah pesimis tetapi cepat kembali seperti semula kalau sudah diberi semangat.
“Baiklah, Oppa! Aku akan berusaha dan terus berjuang!” Eun Ji yakin sambil mengepalkan tangannya ke udara. Seungjin yang saat itu masih dalam keadaan menyetir menahan tawanya sedemikian rupa melihat Eun Ji bertingkah seperti anak kecil.
“Iya, Iya, Hwaiting Eun Ji-ya!! Hwaiting!!” Seungjin juga ikut-ikutan bersemangat meniru gaya Eun Ji.
Mereka berdua saling bercakap-cakap tentang hal-hal lainnya hingga sampai di depan gerbang kampus Eun Ji.
“Baiklah, Oppa. Sudah sampai, terima kasih sudah mengantarkanku sampai ke kampus. Hari ini tidak usah menjemputku, aku akan pulang sore karena harus menyelesaikan lukisanku,”
“Baiklah. Tapi jangan terlalu malam ya, aku tidak mau kau pulang sendirian. Kalau kau pulang larut lebih baik hubungi aku. Oh iya sampai lupa, sudah lama aku ingin mengatakannya padamu. Aku ingin mengenalkan seseorang padamu, dia adalah adik sepupuku. Sepertinya dia juga berada di kampus ini, tapi aku tidak tahu dia mengambil jurusan apa, namanya…..,” sebelum Seungjin menyelesaikannya, dari luar jendela pintu mobil Seungjin terdengar seseorang yang sangat familier dan berisik.
“Heeeii kalian berdua!! Serius sekali sih. Lihat Oppa, kau membuat sahabatku ini menjadi keriputan. Sudahlah jangan terlalu serius, hehehe…” kata perempuan itu tersenyum di samping jendela pintu Eun Ji.
“Ya! Ya! Kau pagi-pagi sudah berisik sekali sih, Tari-ya! Kau iri kan, aku selalu diantar jemput oleh Seungjin Oppa. Sedangkan kau masih saja betah menjadi single. Carilah kekasih!” kata-kata Eun Ji sontak membuat Mentari, sahabat Eun Ji mencubit pipi sahabatnya itu yang sudah mulai membulat.
“Ya! Sakit tahu! Kau pikir pipiku ini apa? Ckck, awas kau ya. Oppa maafkan Tari, dia memang seperti itu. Lebih baik aku turun saja, aku tidak mau telingamu menjadi rusak karena teriakan anak ini,” Eun Ji memegang pipinya yang masih merah bekas cubitan Mentari dan segera turun dari mobil Seungjin.
“Enak saja, suaraku ini sangat merdu. Sampai-sampai burung-burung ikut bernyanyi mendengar suaraku tahu!” Mentari membela diri dan agak menjauh dari pintu mobil Seungjin.
“Sudah, sudah. Kalian tidak ada akurnya ya, seperti saudara kembar saja,” Seungjin terkekeh dari dalam mobil melihat kedua sahabat ini bercanda.
“Apa? Saudara kembar? Seperti tidak ada orang lain saja,” Mentari melirik Eun Ji dari atas sampai bawah kaki dan terkekeh.
“Ya! Kau pikir aku mau? Dasar kau ini, ayolah masuk kelas saja. Maaf, Oppa. Aku akan menghubungimu nanti. Mengenai sepupumu, aku akan menemanimu menemuinya. Sampai jumpa, Seungjin Oppa,” Eun Ji dan Mentari memberi hormat dan melambaikan tangannya.
Setelah mobil Seungjin menjauh, barulah Eun Ji membalas perlakuan Mentari pada dirinya beberapa menit lalu.
“Aw! Sakit, Ji-ya! Kau kasar sekali sih, aku bilang nanti pada kekasihmu itu. Biar tahu dia, kalau kekasihnya ini sebenarnya adalah macan,” kata Mentari sambil mengusap pipi kirinya yang merah karena cubitan Eun Ji.
“Rasakan! Siapa suruh kau menggangguku dan Seungjin Oppa. Memang kau ini sahabatku yang paling menyebalkan,” kata Eun Ji sambil tersenyum.
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong kampus sambil bercengkrama mengenai tugas melukisnya.
“Hei, ngomong-ngomong apa kau sudah menyelesaikan tugas melukis dengan judul kali ini, Ji-ya?”
“Belum selesai, masih banyak perbaikan sana-sini. Jadi belum selesai, bagaimana denganmu?”
“Aku juga belum, bahkan satu goresan warna pun belumku coret di kanvas. Aku belum punya bayangan. Kenapa sulit sekali sih, kali ini?! Harus menggambar wajah seorang yang kau cintai. Memangnya aku harus menggambar siapa? Kekasih saja tidak punya,” Mentari mulai kesal hingga menjambak rambut yang hitam sebahu.
“Kan sudah kubilang, lebih baik kau cari kekasih. Mau aku yang carikan?” Eun Ji tersenyum melihat sahabatnya yang bingung itu. Eun Ji sebenarnya kasihan melihat Mentari hingga saat ini belum mendapatkan kekasih. Padahal menurutnya, wajahnya yang unik cirri khas Asia Tenggara, kulitnya yang sedikit coklat, rambutnya yang hitam sebahu, tinggi yang lumayan tinggi, gayanya yang asik, dan orang yang supel, bagaimana mungkin dia tidak memiliki secret admirer atau orang yang menyukai atau disukainya?
“Sudahlah, Ji-ya, jangan memaksaku. Biarkan semua ini berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Aku pasti menemukan cinta sejatiku,” Mentari menepuk-nepuk bahu Eun Ji namun dengan wajah yang masih murung.
Eun Ji mengenal Mentari saat gadis ini masuk ke kelas lukis untuk pertama kalinya. Eun Ji masih melihat Mentari asing baginya. Lebih tepatnya belum terbiasa. Karena menurutnya, Mentari mempunyai kecantikan yang unik. Apalagi dengan matanya yang mempunyai kelopak, kulit yang coklat, dan rambut hitam. Mentari menjadi unik. Saat menyapanya dengan bahasa Inggris, Mentari malah menyapanya dengan bahasa Korea yang sangat fasih. Ini membuat Eun Ji semakin ingin menjadi sahabatnya. Senyum Mentari yang sangat ramah, membuat siapapun ingin menjadi temannya.
Mentari bercerita, kalau dia mendapat beasiswa dari negaranya untuk belajar seni di Korea. Mentari berasal dari Indonesia, tepatnya Bali. Eun Ji sangat suka cerita-cerita Mentari tentang negaranya itu. Membuat Eun Ji tertarik untuk berkunjung kesana, bahkan tinggal disana. Mentari adalah seorang gadis dari sebuah desa di Bali, di daerah Ubud. Mentari tertarik dengan seni lukis karena Appa-nya adalah seorang pelukis di Bali dan Eomma-nya hanya seorang ibu rumah tangga biasa dirumah. Di dalam hati Eun Ji, suatu hari dia ingin pergi ke Bali bersama dengan Mentari dan mengenalkannya tentang budaya disana.
Sempat terlintas dipikiran Eun Ji untuk mengenalkan Jiwoon pada Mentari. Tetapi Eun Ji agak sedikit ragu. Jika tidak begini, pasti Jiwoon terus mengejarnya dan akan mengganggu hubungannya dengan Seungjin. ‘Daripada dia terus menggangguku, lebih baik aku mengenalkannya pada Mentari, ya benar!’ batinnya.
“Tari-ya, aku ingin mengenalkan seseorang padamu,” kata Eun Ji sambil tersenyum.
“Siapa? Ah jangan macam-macam, Ji-ya. Aku sudah lelah dengan kencan buta,” katanya sambil menyeruput Bubble Tea yang dia beli bersama Eun Ji beberapa menit lalu.
“Tidak, kali ini aku serius. Dia adalah sahabatku, namanya Kang Jiwoon. Orangnya tampan dan baik. Kurasa akan cocok untukmu,” Eun Ji mencoba meyakinkan sahabat disampingnya ini yang tampak sedang berpikir untuk menerima tawaran Eun Ji.
“Eum.. Baiklah, tapi ini yang terakhir kalinya. Jika tidak berhasil, kau harus berhenti untuk menjodohkanku dengan orang-orang itu,” Mentari terpaksa mengiyakan.
“Baiklah, aku akan mengaturnya dengan sedemikian rupa. Agar kau tidak menyesal,” Eun Ji tersenyum penuh rahasia.
“Sungguh, perasaanku tidak enak,” Mentari hanya menghela nafas karena sahabat yang ada disampingnya ini sudah tenggelam dengan pikirannya tentang kencan butanya dengan seorang pria yang tidak dia kenal.
Bersambung…
TTT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar