“Ayo
pacaran denganku,” kata pria itu sambil tersenyum menatap perempuan yang tepat
berada di depannya, yakin.
“Kau sudah tidak waras ya? Kau tahu
aku sudah memiliki kekasih, dan kau masih memintaku untuk menjadi kekasihmu?
Kau pikir aku ini perempuan murahan?!”
Dengan nada kesal perempuan bertubuh
mungil itu, meletakkan sumpit di genggamannya hingga terdengar seperti
menggebrak meja. Eun Ji tidak pernah menyangka jika pria yang ada di depannya
ini akan mengatakan kata-kata yang membuatnya sakit kepala seperti ini. Eun
Ji yang masih menatapnya marah,
melanjutkan kata-katanya tadi dengan lebih tenang.
“Kang Jiwoon, kau sudah tahu kan aku
sudah memiliki kekasih. Kenapa kau masih saja meminta permintaan yang tentu
saja akan kutolak dengan tegas. Kumohon Jiwoon-ah, jangan menyulitkanku
seperti ini,” Eun Ji menghela nafas panjang, karena saat ini dia tahu kepalanya
sedang berpikir keras, mengapa sahabatnya yang sudah dikenalnya selama 4 tahun
ini mengatakan itu padanya.
“Ji-ya, aku tidak pernah menyulitkanmu.
Aku hanya memintamu untuk pacaran denganku, memangnya aku salah? Aku hanya
mengatakan apa yang aku rasakan, kau hanya tinggal menjawab Ya atau Tidak. Aku
sudah memikirkannya, pasti kau akan menolakku mentah-mentah. Tapi Eun Ji-ya,
aku mencintaimu, lebih dari kekasihmu mencintaimu,” kata pria itu dengan mata
menatap lurus kearah Eun Ji dengan sungguh-sungguh.
Sekali lagi, kata-kata pria beralis tebal itu,
membuat Eun Ji gerah. Apalagi ditambah dia berkata mencintai Eun Ji. Eun Ji
semakin marah, dan bangkit dari tempat duduknya. Dia tidak mau ada yang terluka
karena ini. Rasanya Eun Ji ingin memaki, Jiwoon dengan kata-kata yang ada di
kepalanya saat ini. Tapi kata yang keluar adalah kata-kata pamitan.
“Aku pergi!” Dengan segala kekuatannya yang tersisa,
Eun Ji melangkah cepat meninggalkan sahabatnya itu di dalam kedai pinggir jalan
itu.
Jiwoon bukan orang yang mudah menyerah. Dengan sikap
Eun Ji yang marah itu, Jiwoon makin ingin memiliki perempuan yang membuat
hatinya tidak menentu setiap malam. Jiwoon masih tersenyum menatap kepergian
Eun Ji.
‘Aku tahu kau
akan berpaling padaku, Eun Ji-ya. Karena aku tahu kau juga memiliki perasaan
yang sama denganku, tapi kau mengingkarinya. Aku akan membuatmu menyadarinya.
Aku tidak peduli dengan kekasihmu itu, aku hanya ingin membahagiakanmu lebih
dari kekasihmu berikan padamu’
TTT
Eun Ji masih tidak percaya dengan apa
yang terjadi hari ini. Dia merasa tubuhnya sangat lelah dan kepalanya sakit
memikirkan pernyataan dari Jiwoon.
‘Argh!
Rasanya aku ingin terjun dari gedung tinggi atau yang lebih simple saja, aku
ingin memukul kepalaku dengan sesuatu yang keras hingga aku amnesia dan
melupakan kata-kata Jiwoon tadi. Kenapa harus seperti ini?Bagaimana kalau
Seungjin tahu masalah ini, pasti dia akan mencari Jiwoon dan memukulnya hingga
babak belur atau hingga mati. Tidak! Aku tidak akan memberi tahu Seungjin
tentang hari ini. Semua akan baik-baik saja, Park Eun Ji, tenangkan dirimu’
Sesering apapun Eun Ji mengatakan hal
itu, dia tetap saja memikirkannya. Bagaimana tidak, Jiwoon adalah sahabatnya
selama 4 tahun ini, selama ini menyimpan perasaan yang diluar dugaan, Jiwoon
mencintainya. Eun Ji pikir, pasti Jiwoon salah makan obat, atau memang dia
sudah tidak waras. Dia benar-benar membuat Eun Ji tidak bisa berenti memikirkannya.
Beberapa saat kemudian, Eun Ji mencoba menutup matanya. Seungjin yang sedang
dinas keluar negeri itu belum menghubunginya hingga saat ini. Tiba-tiba
handphone Eun Ji berdering.
[Yeoboseyo?]
“Ya?”
[Bagaimana kabarmu Chagi? Apakah kau
baik-baik saja disana? Ini aku Seungjin]
Mendengar siapa yang menelponnya, Eun
Ji langsung bangun dari tempat tidur dan berpindah posisi duduk di pinggir
tempat tidurnya, sambil tersenyum.
“Ah Oppa! Kau kemana saja, aku mengkhawatirkanmu, sudah 3 hari kau tidak menelponku, aku baik-baik saja disini. Bagaimana dengan Oppa? Apa kau baik-baik saja disana? Kau makan dengan baik kan? Apakah pekerjaanmu lancar? Kapan kau pulang? Aku merindukanmu”
[Hei, hei kenapa pertanyaanmu banyak sekali? Hahaha baiklah aku akan menjawabnya satu per satu. Aku baik-baik saja Eun Ji-ya, aku makan dengan baik 3 kali sehari, dan pekerjaanku sangat lancar, aku sudah pulang dan ada di depan rumahmu sekarang]
“Ah Oppa! Kau kemana saja, aku mengkhawatirkanmu, sudah 3 hari kau tidak menelponku, aku baik-baik saja disini. Bagaimana dengan Oppa? Apa kau baik-baik saja disana? Kau makan dengan baik kan? Apakah pekerjaanmu lancar? Kapan kau pulang? Aku merindukanmu”
[Hei, hei kenapa pertanyaanmu banyak sekali? Hahaha baiklah aku akan menjawabnya satu per satu. Aku baik-baik saja Eun Ji-ya, aku makan dengan baik 3 kali sehari, dan pekerjaanku sangat lancar, aku sudah pulang dan ada di depan rumahmu sekarang]
“Apa?
kau ada di depan rumahku? Yang benar saja.”
Eun ji yang penasaran itu, langsung
keluar dari kamarnya, langsung berlari menuju pintu gerbang dan membukanya
cepat-cepat. Benar saja, Seungjin yang sangat disayanginya itu berada di
depannya dengan membawa seikat bunga mawar putih kesukaan Eun Ji. Eun Ji nyaris
saja akan menangis. Sambil masih memegang handphone di telinganya, Eun Ji tidak
bisa berkata apa-apa.
[Aku pulang, Eun Ji-ya. Aku
merindukanmu..]
Seungjin memberikan seikat bunga mawar
itu dan memeluk Eun Ji yang masih terbengong-bengong mendapat pelukan dari
Seungjin. Tubuhnya yang mungil, masuk kedalam pelukan Seungjin yang bertubuh
tinggi darinya.
“Eun Ji-ya, kenapa kau diam saja?
Sepertinya Eun Ji-ku yang bawel ini menjadi pendiam ya sekarang, Hahaha,”
sambil masih memeluk Eun Ji, Seungjin merasakan pukulan-pukulan kecil di
punggungnya yang sebenarnya tidak terasa sakit.
“Dasar Oppa bodoh! Kenapa baru
menghubungiku sekarang sih? Dan mengagetkanku seperti ini. Aku kan belum
menyiapkan apa-apa untuk kepulanganmu, ah aku jadi kesal,” Eun Ji yang cemberut
itu melepaskan pelukannya dari Seungjin yang tersenyum jahil menatap Eun Ji.
“Aku memang sengaja, karena ingin
memberimu kejutan yang tidak kau perkirakan. Sepertinya kejutanku itu membuatmu
ingin melayang, benar kan? Hahaha aku memang jago membuat hatimu tidak karuan
ya?” Seungjin terkekeh melihat Eun Ji yang di rindukannya itu menjadi cemberut
karena percaya dirinya yang berlebihan itu.
“Oppa, kau mau masuk atau disini saja?
Sepertinya kau mau disini saja,” Eun Ji langsung masuk kedalam rumah dan
meninggalkan Seungjin yang ada dibelakangnya.
“Tega sekali kau, meninggalkan Oppa
sendirian diluar. Nanti kalau ada yang menculikku bagaimana? Kau nanti tidak
bisa bertemu denganku lagi, lho?” Seungjin menggoda Eun Ji dan menampakkan
wajah Aegyo-nya saat Eun Ji berbalik menatapnya tajam.
“Oppa, kau itu narsis sekali sih?
Terserah sajalah. Kau membuatku ingin memuntahkan makan malamku tadi,” Eun Ji
berpura-pura kesal dan memicingkan mata bulatnya.
“Ih kekasihku kenapa menjadi sangat
galak sekali sih,” Seungjin menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Oppa, kau mau masuk tidak, ini sudah
malam. Jangan diluar rumah, nanti kau masuk angin,” Eun Ji masih menggengam
seikat bunga mawar ditangannya.
“Tidak usah, sudah malam Eun Ji-ya,
lebih baik aku pulang. Besok pagi aku akan menjemputmu, sebaiknya aku terlihat
cantik, karena keriputmu sudah mulai kelihatan,” canda Seungjin yang otomatis
membuat Eun Ji berlari lagi kearahnya dan memukulnya dengan tangan kecilnya.
“Oppa! Kau menyebalkan sekali. Awas
kau ya, aku akan membuatmu terpesona besok,” kata perempuan manis itu sambil
menunjuk kearah Seungjin.
“Baik, aku lihat besok, apakah
keriputmu sudah pergi jauh-jauh dari kekasihku yang manis ini?” pria bertubuh
tinggi itu, mengecup kening Eun Ji mesra dan mencubit pipinya yang mulai
membulat itu.
“Selamat malam Eun Ji-ya, aku pergi
ya. Selamat tidur, aku menyayangimu,” Seungjin masuk kedalam mobilnya dan
melambai kearah Eun Ji yang masih tidak bisa menyembunyikan wajah merahnya
karena kecupan ringan di keningnya tadi.
“Aku juga menyayangimu, sangat
menyayangimu, Seungjin Oppa,” belum sempat mengatakan itu semua, mobil Seungjin
sudah menjauh.
Eun Ji masuk kedalam kamarnya lagi,
dan meletakkan bunga mawar itu di vas dan diletakkan diatas meja kerjanya.
Tampak cantik dan membuat perasaan Eun Ji kembali baik dan bersemangat. Saat
gadis itu tengah menatap bunga mawar pemberian kekasihnya, telponnya kembali
berdering.
“Yeoboseyo? Ada apalagi Seungjin Oppa,” kata Eun Ji kepada lawan bicaranya tanpa melihat nama yang tertera di layar handphonenya.
[Yeoboseyo, sepertinya ada yang mendahuluiku untuk mengucapkan selamat malam kepada gadis cantik ini. Ah seharusnya aku mengantarmu pulang tadi]
“Jiwoon? Mau apa lagi sih? Aku sedang lelah, tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk malam ini saja?” raut wajah Eun Ji berubah sebal mendengar suara Jiwoon diseberang sana.
[Baiklah, baiklah, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat malam saja padamu, tidak usah galak begitu, Eun Ji-ya]
“Kau memang pantas untuk mendapatkan kekesalanku, sudahlah aku lelah mau tidur! Selamat malam!” tanpa menunggu jawaban Jiwoon, Eun Ji menutup telponnya.
“Yeoboseyo? Ada apalagi Seungjin Oppa,” kata Eun Ji kepada lawan bicaranya tanpa melihat nama yang tertera di layar handphonenya.
[Yeoboseyo, sepertinya ada yang mendahuluiku untuk mengucapkan selamat malam kepada gadis cantik ini. Ah seharusnya aku mengantarmu pulang tadi]
“Jiwoon? Mau apa lagi sih? Aku sedang lelah, tidak bisakah kau tidak menggangguku untuk malam ini saja?” raut wajah Eun Ji berubah sebal mendengar suara Jiwoon diseberang sana.
[Baiklah, baiklah, aku tidak akan mengganggumu. Aku hanya ingin mengucapkan selamat malam saja padamu, tidak usah galak begitu, Eun Ji-ya]
“Kau memang pantas untuk mendapatkan kekesalanku, sudahlah aku lelah mau tidur! Selamat malam!” tanpa menunggu jawaban Jiwoon, Eun Ji menutup telponnya.
‘Tidak bisakah
dia, tidak menggangguku? Belum cukup dia apa, dia membuatku shock setengah
mati. Rasanya aku ingin meninjunya saja.’
Telpon Eun Ji berdering lagi.
“Apalagi Jiwoon-ah!”
[Aku mencintaimu Park Eun Ji]
Sekali lagi Eun Ji menutup telponnya. Kesal rasanya
ketika Jiwoon mengatakan kalau dia mencintai Eun Ji. Itu membuat Eun Ji merasa
serba salah dan bingung menghadapi Jiwoon dan perasaan Seungjin yang tidak ia
beritahu atas kejadian mala mini sebelum Seungjin datang. Kepala Eun Ji kembali
berputar-putar. Sepertinya dia harus mengompres kepalanya agar tidak tambah
sakit.
‘Jiwoon sialan!
Aku bersumpah, aku tidak mencintainya. Ya aku tidak mencintainya! Dia tidak
akan bisa membuatku berpaling dari Seungjin Oppa. Karena aku menyayangi
Seungjin Oppa, bukan Jiwoon. Anak itu benar-benar sukses membuatku sakit
kepala.’
Di sisa malam itu, Eun Ji terus memikirkannya dan
tidak bisa tidur.
TTT
Hari ini, Eun Ji terlihat mempersiapkan segalanya
untuk bertemu dengan Seungjin pagi ini. Karena kemarin Seungjin berjanji untuk
menjemputnya. Sebenarnya Eun Ji cukup kesal karena Seungjin mengatakan banyak
keriput diwajahnya. Gadis berumur 20 tahun itu tahu jika kekasihnya hanya
bercanda, tetapi tetap saja bagi perempuan kata-kata seperti itu apalagi
diucapkan oleh kekasihnya sendiri, sedikit menohoknya.
‘Tidak akan kubiarkan Seungjin Oppa mengatakan
kata-kata itu lagi. Jelas-jelas wajahku tidak ada keriputnya, dia malah
menggodaku. Menyebalkan. Lihat saja penampilanku hari ini tidak kalah dengan
Artis Baek Suzy’
Saat yang sama, seorang pria sudah menunggu di depan
pintu pagar rumah Eun Ji dengan wajah sumringah. Dengan santai pria itu menekan
bel rumah Eun Ji, dengan tangan sebelahnya menggenggam sebuket bunga mawar
merah. Eun Ji yang sedang menyisir rambutnya yang panjang, langsung bergegas
membuka pintu rumahnya dan sedikit berlari sambil memoleskan lipgloss ke bibir
mungilnya. Ketika Eun Ji membuka pintu pagarnya, pria itu menutup wajahnya
dengan sebuket bunga mawar yang dia beli. ‘Ah Seungjin Oppa romantis sekali,
padahal semalam dia baru memberiku bunga mawar putih’ batinnya.
“Oppa, apakah kau berniat untuk membuat kebun mawar
di kamarku,” kata Eun Ji sambil tertawa kecil.
“Astaga, ternyata kau memanggilku ‘Oppa’, bahagianya
aku pagi ini,” kata pria itu lagi. Betapa terkejutnya Eun Ji saat pria itu
menurunkan bunga yang tadi menutupi wajahnya. Ternyata bukan Seungjin,
melainkan pria yang semalam memenuhi pikiriannya dan membuatnya harus tidur jam
3 pagi. Jiwoon.
“Kau! Sedang apa kau pagi-pagi dirumahku? Siapa yang
mengijinkanmu menjemputku kemari? Aku tidak ada janji denganmu, aku sudah janji
dengan orang lain!” kata Eun Ji sambil berdecak pinggang. Eun Ji tidak habis
pikir kenapa pria di depannya ini menjadi berubah sejak semalam.
“Jadi kau berdandan cantik begini karena ingin
bertemu dengan seseorang, astaga betapa beruntungnya aku melihatmu terlebih
dahulu sebelum orang yang ingin menjemputmu itu,” Jiwoon terkekeh. Namun
kekehannya semakin membuat Eun Ji ingin melemparnya dengan tas yang dipegangnya
itu.
“Sudahlah! Lebih baik kau lekas pergi sebelum
kekasihku melihatmu. Aku tidak ingin ada salah paham terjadi antara aku dan
kekasihku,” Eun Ji sudah sangat tahu karakteristik Jiwoon, jika dia sudah keras
kepala tidak ada yang bisa menghalanginya. Menyebalkan.
“Baik, baik, Tuan Putri yang cantik, aku akan pergi.
Aku sudah cukup melihatmu pagi ini, jadi ini bunga mawar untukmu,” Jiwoon
memberikan sebuket mawar merah yang indah itu kehadapan Eun Ji dan langsung
masuk pergi meninggalkan Eun Ji yang masih terbengong-bengong dengan kelakuan
Jiwoon pagi ini.
“Ya! Ya! Ini bawa bunga mawar merah ini kembali,
Jiwoon-ah! Astaga anak itu benar-benar membuatku sakit kepala!” Eun Ji yang
memegang buket bunga mawar itu hampir saja membuangnya ketempat sampah. Tapi
dia sangat menyukai mawar, jadi dia mengurungkan niatnya dan meletakkannya di
meja taman di halaman rumahnya.
Tak lama kemudian, Seungjin datang. Eun Ji tidak
ingin Seungjin tahu tentang kejadian tadi. Buru-buru dia merapikan rambut
lurusnya dan memeriksa Make Up-nya kembali setelah marah-marah tadi. Eun Ji
sudah siap di depan pintu gerbang rumahnya, dan menyapa Seungjin dengan senyum
terbaiknya.
“Aigoo, kenapa Oppa lama sekali? Aku sudah
menunggumu dari tadi,” kata Eun Ji sambil menyipitkan matanya dengan tatapan
menyelidik.
“Aish! Tadi macet dijalan, Eun Ji-ya. Kau tidak tahu
betapa kesalnya aku harus terlambat menjemput tuan Putri yang sudah menunggu
ini. Kau cantik sekali pagi ini, Eun ji-ya,” kata Seungjin sambil meraih tangan
kanan Eun Ji dan mengecupnya ringan. Sontak momen ini membuat jantung Eun Ji
nyaris keluar karena debarannya tidak karuan. ‘Aigoo! Semoga Seungjin Oppa
tidak mendengar detak jantungku ini,” batinnya.
“Hei, kenapa kau diam saja, sudah ayo naik. Kau
tidak ingin terlambat ke kampus kan?” Seungjin membuka pintu mobilnya untuk Eun
Ji yang tanpa sengaja melamun.
“O..oh ya Oppa,” Eun Ji tampak malu dan masuk
kedalam mobil Seungjin.
Sikap Seungjin padanya memang tidak berubah sejak
setahun yang lalu, saat mereka pertama kali bertemu di sebuah pameran lukisan.
Saat itu Eun Ji sedang melakukan riset untuk tugas kampusnya sekaligus mencari
inspirasi untuk idenya melukis. Seungjin juga sedang berada dalam pameran
lukisan itu, dia adalah pemilik dari galeri pameran lukisan tersebut. Seungjin
melihat Eun Ji yang sedang kebingungan karena mencari lukisan yang dosennya
rekomendasikan untuk tugas kampusnya.
Eun Ji cukup kaget karena pria setampan Seungjin
menyapanya. Awalnya Eun Ji tidak merasakan perasaan apapun pada Seungjin.
Tetapi saat mengobrol dengan Seungjin, sangat menarik karena pengetahuan
Seungjin sangat luas. Tidak sepintas tentang seni lukis, tapi hal-hal lain yang
menarik dan tidak diketahui oleh Eun Ji. Bagi Eun Ji, Seungjin adalah
ensiklopedia berjalan. Dan Eun Ji tidak menyangka jika Seungjin menaruh hati
padanya. Tepat dua bulan kemudian, setelah pertemuan itu, Seungjin menyatakan
perasaannya pada Eun Ji. Tentu saja Eun Ji mempunyai perasaan yang sama pada
Seungjin. Akhirnya mereka berdua berpacaran hingga saat ini.
Eun Ji sangat beruntung menjadi kekasih Seungjin,
selain tampan, dia juga sangat pintar dan sudah berpenghasilan yang menurut Eun
Ji lumayan bagi seorang pria yang masih 25 tahun ini.
“Bagaimana kuliahmu, Eun Ji-ya?” tanya Seungjin
membuka percakapan.
“Baik, Oppa. Aku sedang menyelesaikan lukisanku.
Jika sudah selesai aku akan menunjukkannya kepadamu,” kata Eun Ji menatap pria
disampingnya senang.
“Wah, aku tidak sabar ingin melihat lukisanmu. Siapa
tahu bisa di pajang di galeriku, hehe,” kata Seungjin sambil terkekeh.
“Tidak usah, Oppa. Lukisanku belum sebagus
lukisan-lukisan yang dipamerkan di galeri Oppa. Aku hanya amatir dan belum
berpikir untuk memajangnya menjadi sebuah karya seni dan pantas dilihat oleh
orang banyak,” Eun Ji tahu kemampuan melukisnya memang masih amatir. Sebenarnya
dia ingin sekali memajangnya di galeri, tetapi dia masih pemula dan tahu diri
jika dirinya belum pantas disebut sebagai seniman.
“Eun Ji-ya, kau jangan merendah seperti itu. Menurut
mataku ini, karya lukismu selama ini sudah lebih baik dan akan terus lebih
baik. Aku harap kau tidak putus asa, dan terus belajar agar lukisanmu menjadi
lukisan yang diakui di Korea, bahkan di luar negeri,” kata Seungjin yang memberi
semangat kepada Eun Ji sambil mengusap kepalanya. Dia tahu kekasihnya itu
memang mudah pesimis tetapi cepat kembali seperti semula kalau sudah diberi
semangat.
“Baiklah, Oppa! Aku akan berusaha dan terus
berjuang!” Eun Ji yakin sambil mengepalkan tangannya ke udara. Seungjin yang
saat itu masih dalam keadaan menyetir menahan tawanya sedemikian rupa melihat
Eun Ji bertingkah seperti anak kecil.
“Iya, Iya, Hwaiting Eun Ji-ya!! Hwaiting!!” Seungjin
juga ikut-ikutan bersemangat meniru gaya Eun Ji.
Mereka berdua saling bercakap-cakap tentang hal-hal
lainnya hingga sampai di depan gerbang kampus Eun Ji.
“Baiklah, Oppa. Sudah sampai, terima kasih sudah
mengantarkanku sampai ke kampus. Hari ini tidak usah menjemputku, aku akan
pulang sore karena harus menyelesaikan lukisanku,”
“Baiklah. Tapi jangan terlalu malam ya, aku tidak
mau kau pulang sendirian. Kalau kau pulang larut lebih baik hubungi aku. Oh iya
sampai lupa, sudah lama aku ingin mengatakannya padamu. Aku ingin mengenalkan
seseorang padamu, dia adalah adik sepupuku. Sepertinya dia juga berada di
kampus ini, tapi aku tidak tahu dia mengambil jurusan apa, namanya…..,” sebelum
Seungjin menyelesaikannya, dari luar jendela pintu mobil Seungjin terdengar
seseorang yang sangat familier dan berisik.
“Heeeii kalian berdua!! Serius sekali sih. Lihat
Oppa, kau membuat sahabatku ini menjadi keriputan. Sudahlah jangan terlalu
serius, hehehe…” kata perempuan itu tersenyum di samping jendela pintu Eun Ji.
“Ya! Ya! Kau pagi-pagi sudah berisik sekali sih,
Tari-ya! Kau iri kan, aku selalu diantar jemput oleh Seungjin Oppa. Sedangkan
kau masih saja betah menjadi single. Carilah kekasih!” kata-kata Eun Ji sontak
membuat Mentari, sahabat Eun Ji mencubit pipi sahabatnya itu yang sudah mulai
membulat.
“Ya! Sakit tahu! Kau pikir pipiku ini apa? Ckck,
awas kau ya. Oppa maafkan Tari, dia memang seperti itu. Lebih baik aku turun
saja, aku tidak mau telingamu menjadi rusak karena teriakan anak ini,” Eun Ji
memegang pipinya yang masih merah bekas cubitan Mentari dan segera turun dari
mobil Seungjin.
“Enak saja, suaraku ini sangat merdu. Sampai-sampai
burung-burung ikut bernyanyi mendengar suaraku tahu!” Mentari membela diri dan
agak menjauh dari pintu mobil Seungjin.
“Sudah, sudah. Kalian tidak ada akurnya ya, seperti
saudara kembar saja,” Seungjin terkekeh dari dalam mobil melihat kedua sahabat
ini bercanda.
“Apa? Saudara kembar? Seperti tidak ada orang lain
saja,” Mentari melirik Eun Ji dari atas sampai bawah kaki dan terkekeh.
“Ya! Kau pikir aku mau? Dasar kau ini, ayolah masuk
kelas saja. Maaf, Oppa. Aku akan menghubungimu nanti. Mengenai sepupumu, aku
akan menemanimu menemuinya. Sampai jumpa, Seungjin Oppa,” Eun Ji dan Mentari
memberi hormat dan melambaikan tangannya.
Setelah mobil Seungjin menjauh, barulah Eun Ji
membalas perlakuan Mentari pada dirinya beberapa menit lalu.
“Aw! Sakit, Ji-ya! Kau kasar sekali sih, aku bilang
nanti pada kekasihmu itu. Biar tahu dia, kalau kekasihnya ini sebenarnya adalah
macan,” kata Mentari sambil mengusap pipi kirinya yang merah karena cubitan Eun
Ji.
“Rasakan! Siapa suruh kau menggangguku dan Seungjin
Oppa. Memang kau ini sahabatku yang paling menyebalkan,” kata Eun Ji sambil
tersenyum.
Mereka berdua berjalan menyusuri lorong-lorong
kampus sambil bercengkrama mengenai tugas melukisnya.
“Hei, ngomong-ngomong apa kau sudah menyelesaikan tugas
melukis dengan judul kali ini, Ji-ya?”
“Belum selesai, masih banyak perbaikan sana-sini.
Jadi belum selesai, bagaimana denganmu?”
“Aku juga belum, bahkan satu goresan warna pun
belumku coret di kanvas. Aku belum punya bayangan. Kenapa sulit sekali sih,
kali ini?! Harus menggambar wajah seorang yang kau cintai. Memangnya aku harus
menggambar siapa? Kekasih saja tidak punya,” Mentari mulai kesal hingga
menjambak rambut yang hitam sebahu.
“Kan sudah kubilang, lebih baik kau cari kekasih.
Mau aku yang carikan?” Eun Ji tersenyum melihat sahabatnya yang bingung itu.
Eun Ji sebenarnya kasihan melihat Mentari hingga saat ini belum mendapatkan
kekasih. Padahal menurutnya, wajahnya yang unik cirri khas Asia Tenggara,
kulitnya yang sedikit coklat, rambutnya yang hitam sebahu, tinggi yang lumayan
tinggi, gayanya yang asik, dan orang yang supel, bagaimana mungkin dia tidak
memiliki secret admirer atau orang yang menyukai atau disukainya?
“Sudahlah, Ji-ya, jangan memaksaku. Biarkan semua
ini berjalan sesuai dengan kehendak Tuhan. Aku pasti menemukan cinta sejatiku,”
Mentari menepuk-nepuk bahu Eun Ji namun dengan wajah yang masih murung.
Eun Ji mengenal Mentari saat gadis ini masuk ke
kelas lukis untuk pertama kalinya. Eun Ji masih melihat Mentari asing baginya.
Lebih tepatnya belum terbiasa. Karena menurutnya, Mentari mempunyai kecantikan
yang unik. Apalagi dengan matanya yang mempunyai kelopak, kulit yang coklat,
dan rambut hitam. Mentari menjadi unik. Saat menyapanya dengan bahasa Inggris,
Mentari malah menyapanya dengan bahasa Korea yang sangat fasih. Ini membuat Eun
Ji semakin ingin menjadi sahabatnya. Senyum Mentari yang sangat ramah, membuat
siapapun ingin menjadi temannya.
Mentari bercerita, kalau dia mendapat beasiswa dari
negaranya untuk belajar seni di Korea. Mentari berasal dari Indonesia, tepatnya
Bali. Eun Ji sangat suka cerita-cerita Mentari tentang negaranya itu. Membuat
Eun Ji tertarik untuk berkunjung kesana, bahkan tinggal disana. Mentari adalah
seorang gadis dari sebuah desa di Bali, di daerah Ubud. Mentari tertarik dengan
seni lukis karena Appa-nya adalah seorang pelukis di Bali dan Eomma-nya hanya
seorang ibu rumah tangga biasa dirumah. Di dalam hati Eun Ji, suatu hari dia
ingin pergi ke Bali bersama dengan Mentari dan mengenalkannya tentang budaya
disana.
Sempat terlintas dipikiran Eun Ji untuk mengenalkan
Jiwoon pada Mentari. Tetapi Eun Ji agak sedikit ragu. Jika tidak begini, pasti
Jiwoon terus mengejarnya dan akan mengganggu hubungannya dengan Seungjin.
‘Daripada dia terus menggangguku, lebih baik aku mengenalkannya pada Mentari,
ya benar!’ batinnya.
“Tari-ya, aku ingin mengenalkan seseorang padamu,”
kata Eun Ji sambil tersenyum.
“Siapa? Ah jangan macam-macam, Ji-ya. Aku sudah
lelah dengan kencan buta,” katanya sambil menyeruput Bubble Tea yang dia beli
bersama Eun Ji beberapa menit lalu.
“Tidak, kali ini aku serius. Dia adalah sahabatku,
namanya Kang Jiwoon. Orangnya tampan dan baik. Kurasa akan cocok untukmu,” Eun
Ji mencoba meyakinkan sahabat disampingnya ini yang tampak sedang berpikir
untuk menerima tawaran Eun Ji.
“Eum.. Baiklah, tapi ini yang terakhir kalinya. Jika
tidak berhasil, kau harus berhenti untuk menjodohkanku dengan orang-orang itu,”
Mentari terpaksa mengiyakan.
“Baiklah, aku akan mengaturnya dengan sedemikian
rupa. Agar kau tidak menyesal,” Eun Ji tersenyum penuh rahasia.
“Sungguh, perasaanku tidak enak,” Mentari hanya
menghela nafas karena sahabat yang ada disampingnya ini sudah tenggelam dengan
pikirannya tentang kencan butanya dengan seorang pria yang tidak dia kenal.
Bersambung…
TTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar